Allah Hummashalli Alla Muhammad, Wa Alla Alli Sayyidina Muhammad

Thursday, 25 September 2014

Alternatif Pandangan Teori Belajar untuk Menangani Anak Hiperaktif


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Mendidik anak untuk bisa pintar mungkin bisa dilakukan oleh siapa saja. Tetapi mendidik anak untuk mempunyai emosi yang stabil, tidak semua orang bisa melakukannya. Dibutuhkan orang tua dan guru yang sabar, serius, ulet, serta mempunyai semangat dedikasi tinggi dalam memahami dinamika kepribadian anak. Perilaku siswa usia sekolah saat ini banyak dikeluhkan guru.
Para guru mengeluh sikap anak- anak yang sangat sulit di atur (hiperaktif) emosinya di kelas. Terhadap kondisi siswa yang demikian, biasanya para guru sangat susah mengatur dan mendidiknya. Di samping karena keadaan dirinya yang sangat sulit untuk tenang, juga karena anak hiperaktif sering mengganggu orang lain, suka memotong pembicaran guru atau teman, dan mengalami kesulitan dalam memahami sesuatu yang diajarkan guru kepadanya.
Selain itu juga, prestasi belajar anak hiperaktif juga tidak bisa maksimal. Untuk itulah dibutuhkan suatu pendekatan untuk membantu anak-anak yang hiperaktif tersebut supaya mereka dapat memaksimalkan potensi diri dan meningkatkan prestasinya. Pendekatan ini yaitu dengan adanya bimbingan konseling berupa layanan atau treatment yang sesuai dengan kebutuhannya. Sehingga dengan demikian, diharapkan setiap anak akan memperoleh haknya untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik tanpa terkecuali, karena pengajaran yang diberikan telah disesuaikan dengan kemampuan dan kesulitan yang dimilikinya.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang tertulis di atas dalam latar belakang, maka dalam hal ini akan merumuskan permasalahan dalam beberapa pertayaan:
1.      Bagaimanakah anak hiperaktif dan masalah yang dialami anak hiperaktif ?
2.      Bagaimana Pandangan Teori  Conditioning untuk menangani anak hiperaktif ?
3.      Bagaimana Pandangan Teori Kognitive untuk menangani  Anak hiperaktif ?
4.      Bagaimana Pandangan Terori Sosial Learning untuk menangani anak huperaktif ?



C.Tujuan Masalah
Denagn bedasarkan kepada poin-poin pertayaan tersebut di atas maka tujuan dalam penulisan makalah ini yaitu:
1.      Mengetahui dan memahami yang dimaksud anak hiperaktif danapa saja masalah yang di alami anak hiperaktif.
2.      Mengetahui dan memahami pandangan teori Conditioning dalam menangani anak hiperaktif.
3.      Mengetahui dan memahami pandangan Teori Kognitive dalam menangani anak hiperaktif.
4.      Mengetahui dan memahami pandangan teori Learning untuk menangani anak huperaktif.


C.     Sistematika Penulisan
Sistematika penilisan yang diharapkan untuk menyajikan gambarab singkat mengenai permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini, sehingga akan memperoleh gambaran yang jelas tentang isi dari penulisan ini terdiri dari tiga bab diantaranya :
BAB I PENDAHULAUN
Berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan, dan sistematika penulisan
BAB II
Berisi Pengertian anak hiperatif dan masalah yang dialami anak hiperaktif
Berisi pandangan teori Conditioning dalam menangani anak hiperaktif
Berisi pandangan teori Kognitive dalam menangani anak hiperaktif
Berisi pandangan teori Learning untuk menangani anak huperaktif
BAB III PENUTUP
Berisi kesimpulan









BABA II
ISI
A.Pengertian anak hiperatif dan Masalah yang Dialami Anak Hiperaktif
            hiperaktif adalah anak yang mengalami gangguan pemusatan perhatian dengan hiperaktivitas (GPPH) atau attention deficit and hyperactivity disorder (ADHD). Kondisi ini juga disebut sebagai gangguan hiperkinetik. Dahulu kondisi ini sering disebut minimal brain dysfunction syndrome. Gangguan hiperkinetik adalah gangguan pada anak yang timbul pada masa perkembangan dini (sebelum berusia tujuh tahun) dengan ciri utama tidak mampu memusatkan perhatian, hiperaktif dan impulsif. Ciri perilaku ini mewarnai berbagai situasi dan dapat berlanjut hingga dewasa. Dr. Seto Mulyadi dalam bukunya “Mengatasi Problem Anak Sehari-hari“ mengatakan pengertian istilah
anak hiperaktif adalah : Hiperaktif menunjukkan adanya suatu pola perilaku yang menetap pada seorang anak. Perilaku ini ditandai dengan sikap tidak mau diam, tidak bisa berkonsentrasi dan bertindak sekehendak hatinya atau impulsif. ADHD adalah sebuah kondisi yang amat kompleks; gejalanya berbeda-beda.
Ditinjau secara psikologis, hiperaktif adalah gangguan tingkah laku yang tidak normal yang disebabkan disfungsi neurologia dengan gejala utama tidak mampu memusatkan perhatian. Gangguan ini disebabkan kerusakan kecil pada system saraf pusat dan otak sehingga rentang konsentrasi penderita menjadi sangat pendek dan sulit dikendalikan. Penyebab lainnya dikarenakan temperamen bawaan, pengaruh lingkungan, malfungsi otak, serta epilepsi. Atau bisa juga karena gangguan di kepala seperti geger otak, trauma kepala karena persalinan sulit atau pernah terbentur, infeksi, keracunan, gizi buruk, dan alergi makanan.
Para ahli mempunyai perbedaan pendapat mengenai hal ini, akan tetapi mereka membagi ADHD ke dalam tiga jenis yaitu :
1. Tipe anak yang tidak bisa memusatkan perhatian.
Mereka sangat mudah terganggu perhatiannya, tetapi tidak hiperaktif atau Impulsif. Mereka tidak menunjukkan gejala hiperaktif. Tipe ini kebanyakan ada pada anak perempuan. Mereka seringkali melamun dan dapat digambarkan seperti sedang berada “di awang-awang”.
2. Tipe anak yang hiperaktif dan impulsive.
Mereka menunjukkan gejala yang sangat hiperaktif dan impulsif, tetapi bisa memusatkan perhatian. Tipe ini seringkali ditemukan pada anak- anak kecil.
 3.Tipe gabungan
 Mereka sangat mudah terganggu perhatiannya, hiperaktif dan impulsif. Kebanyakan anak anak termasuk tipe seperti ini. Jadi yang dimaksud dengan hiperaktif adalah suatu pola perilaku pada seseorang yang menunjukkan sikap tidak mau diam, tidak terkendali, tidak menaruh perhatian dan impulsif (bertindak sekehendak hatinya).

B. Teori Pembiasaan  respons  (Operant Conditioning)
 B.1. Pengertian 
Operant Conditioning merupakan ilmu yang mempelajari perilaku berdasarkan eksperimen. Operant Conditioning menunjukkan suatu proses modifikasi unit-unit perilaku alih peristiwa-peristiwa yang mengikuti perubahan tersebut. Pendekatan ini ditandai dengan analisis yang bersifat deterministik dan eksperimental suatu perilaku. Selain itu juga ditandai oleh adanya konsentrasi (pemusatan) pada suatu perilaku operant (respon). Walaupun demikian pendekatan ini tidak mengabaikan perilaku yang bersifat intrinsik dan refleksif. Penggunaan pendekatan ini hanya untuk perilaku yang dapat diamati, diukur dan direproduksi kembali. Peranan lingkungan banyak menentukan dalam perubahan perilaku. Pendekatan kondisioning aktif telah menunjukkan bagaimana perilaku dapat dikontrol oleh lingkungan dan lingkungan dapat digambarkan secara obyektif dan terperinci.
Berdasarkan uraian tersebut maka ada dua hal pokok dalam pendekatan kondisioning aktif, yaitu perilaku dan lingkungan. Perilaku dalam pengertian operant ini adalah segala sesuatu yang dikerjakan oleh inidvidu. Hampir semua perilaku seperti lari, bicara, berpikir, dan aktivitas lain yang dapat diamati. Lingkungan dalam pengertian ini adalah formula yang menyangkut segala sesuatu yang mempunyai efek terhadap individu, baik dengan segera atau tidak. Lingkungan melibatkan inidvidu itu sendiri, karena penentu perilaku saat ini adalah mungkin perilaku sebelumnya. Kejadian yang mengikuti hanya peristiwa lingkungan sebagai konsekuensi peristiwa yang mengikutinya. Dalam kondisioning aktif ini penekanannya diberikan kemungkinan (probabilitas) terjadinya suatu perilaku. Pengertian probabilitas adalah frekuensi terjadinya perilaku di bawah kondisi lingkungan tertentu.
Tujuan utama kondisioning aktif adalah meramalkan dan memanipulasi terjadinya suatu perilaku tertentu di bawah satu kondisi lingkungan tertentu. Sehingga salah satu urutan terpenting pada pendekatan operant ini adalah tingkat terjadinya perilaku di bawah kondisi tertentu. Di dalam kondisioning aktif, bahwa suatu perilaku terjadi tersusun dari unit-unit yang disebut respon. Di samping itu lingkungan tersusun juga dengan berbagai unit-unit. Konsep yang paling mendasar pada pendekatan ini adalah semua perilaku tidak perlu dipaksakan dari individu oleh lingkungan. Pendekatan kondisioning aktif lebih menekankan pada pemberian sejumlah reinforced dan respon. Perilaku yang dapat dipengaruhi oleh pendekatan ini seperti berbicara, tersenyum, bekerja, membaca, dan perilaku lainnya. Jenis terapi dengan pendekatan kondisioning aktif ini juga dapat digunakan untuk mengurangi perilaku mal-adjusted, agresif, hiperaktif dan perilaku yang lain.
B.2. Langkah-langkah Penerapan Teknik Kondisioning Aktif
Suharmini (2005) menjelaskan langkah-langkah penanganan anak hiperaktif dengan menggunakan pendekatan operant conditioning, yaitu :
      a. Pahami perilaku hiperaktif. Perilaku yang sering dilakukan seperti :
1) Tidak mampu berkonsentrasi.
2) Kurang control dalam berperilaku dan berbicara.
3) Aktivitas sangat tinggi tanpa tujuan.
4) Agresif, seperti memukul dan mengganggu teman.
5) Tidak mau mengerjakan tugas- tugas dari guru.
6) Tidak mau mengikuti aturan yang dibuat sekolah.
    b. Tentukan perilaku, aktivitas atau keterampilan yang akan diubah, misalnya:
1) Tidak mau duduk.
2) Tidak mau mendengarkana ketika guru berbicara.
3) Keluar masuk kelas, dan sebagainya.
c. Membagi perilaku yang akan diubah dalam unit-unit kecil. d. Tentukan reinforcement.
e. Ubahlah atau ajarkan perilaku per bagian secara sistematik, terstruktur dan dapat dinilai.
f. Berikan bimbingan (bantuan + reinforcement), sedikit demi sedikit bantuan tersebut ditiadakan. Pada anak hiperaktif perlu sikap tegas dan disiplin dari guru. Pemberian reinforcement bisa negatif dan positif tergantung kondisi anak. Reinforcement positif misalnya : memberi kasih sayang, acungan jempol, memangku, memberi sesuatu yang disukai anak tetapi tidak membawa dampak negatif pada anak. Reinforcement negatif misalanya : menarik tangan, menginjak kaki (tanpa menimbulkan sakit) setiap anak akan pergi dari tempat duduk, melarang dengan tegas apabila anak melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki dan sebagainya. Reinforcement pada anak hiperaktif sangat subyektif, masing- masing anak tidak sama. Pada anak hiperaktif rangsangan taktil yang berpa sentuhan sangat berarti dan berpengaruh terhadap perilaku anak.
g. Terus menerus dilakukan sampai aktivitas yang dikehendaki terwujud.
 Apabila aktivitas dikehendaki terwujud, maka hentikan reinforcement. Apabila setelah dihentikan perilakunya mengarah kembali ke perilaku semula berikan lagi reinforcement, sampai perilaku yang dikehendaki benar-benar menjadi kuat.
C. Kondisioning Melalui Penolakan
C.1. Pengertian
            Kondisioning melalui penolakan ini dapat dilakukan melalui latihan asertif atau latihan keterampilan sosial. Perilaku asertif adalah perilaku antar personal yang melibatkan aspek kejujuran dan keterbukaan pikiran dan perasaan. Perilaku asertif dilakukan dengan mempertimbangkan perasaan dan kesejahteraan orang lain.
 Singgih D. Gunarso (1992) menyatakan perilaku asertif digolongkan pada tiga kategori, yaitu :
1.Asertif penolakan
 Dapat dilakukan dengan halus seperti maaf. Pada anak hiperaktif guru dapat melakukan dengan ucapan tegas, seperti jangan, tidak boleh. Pada anak itu sendiri dapat dilatihkan dengan mengatakan “maaf saya tidak mau”, dan seterusnya.
2. Asertif pujian
Ditandai oleh kemampuan untuk mengekspresikan perasaan setuju, cocok, senang, mencintai, mengagumi, memuji dan bersyukur.
3.Asertif permintaan
            Merupakan latihan meminta orang lain melakukan sesuatu untuk mencapai suatu tujuan tanpa tekanan atau paksaan. Latihan asertif ini cocok untuk menangani masalah perilaku hiperaktif dan perilaku agresif yang sering ada pada anak hiperaktif Robert (1975) menyatakan salah satu cara untuk mengurangi perilaku hiperaktif adalah dengan latihan asertif. Corey (1991) menyatakan latihan asertif dapat dilakukan pada anak-anak yang :
a. Mengalami kesulitan untuk mengatakan “tidak”.
b. Tidak dapat mengekspresikan perasaan marah atau tersinggung.
c. Kesulitan mengekspresikan perasaan dan respon-respon yang positif.
d. Terlalu sopan.
e. Merasa tidak dapat mengekspresikan perasaan dan pikiran.
Guru, orangtua dan terapis dalam pendekatan ini harus bersikap tegas juga jika harus mengatakan tidak maka katakan tidak. Dalam pendekatan ini anak diajak untuk berpikir bagaimana mengndalikan diri. Strategi perilaku yang dapat digunakan dengan mengatakan secara verbal tentang aturan atau keharusan yang dapat dilakukan. Seperti “saya harus bekerja selama 5 menit”. Dalam waktu 1 menit harus sudah selesai. Pada pendekatan ini anak hiperaktif diminta untuk menggambar garis-garis atau lingkaran-lingkaran kecil.
C.2. Langkah Penerapan Teknik
Kondisioning Melalui Penolakan D’Allonzo (1996) mengemukakan pelaksanaan penggunakan teknik kondisioning melalui penolakan sebagai berikut :
a. Beri bantuan anak dan sejumlah
reinforcement untuk mengarah ke perilaku atau berperilaku sesuai dengan tugas yang diberikan.
b. Sebelum anak masuk ke dalam suatu kelompok bersama-sama teman lainnya, maka diskusikan telebih dahulu dengan anak tentang identifikasi perilaku-perilaku yang dapat dilakukan.
c. Sikap tegas, perhatian yang khusus dan kualitas potensi kepemimpinan guru ditunjukkan baik pada anak hiperaktif serta anak-anak lain yang ada di dalamnya. Beri reinforcement, dengan cara ini dapat menghilangkan perilaku-perilaku negatif.
D. Classic conditioning ( pengkondisian atau persyaratan klasik)
Adalah proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang- ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan. Eksperimen- eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bakker bahwa yang paling sentral dalam hidup manusia bukan hanya pikiran, peranan maupun bicara, melainkan tingkah lakunya. Pikiran mengenai tugas atau rencana baru akan mendapatkan arti yang benar jika ia berbuat sesuatu.   
          Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang di inginkan.  Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen dengan menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap binatang memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki manusia berbeda dengan binatang. Ia mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi leher pada seekor anjing. Sehingga kelihatan kelenjar air liurnya dari luar. Apabila diperlihatkan sesuatu makanan, maka akan keluarlah air liur anjing tersebut. Kini sebelum makanan diperlihatkan, maka yang diperlihatkan adalah sinar merah terlebih dahulu, baru makanan. Dengan sendirinya air liurpun akan keluar pula. Apabila perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu ketika dengan hanya memperlihatkan sinar merah saja tanpa makanan maka air liurpun akan    keluar.
             Makanan adalah rangsangan wajar, sedang merah adalah rangsangan buatan. Ternyata kalau perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan menimbulkan syarat(kondisi) untuk timbulnya air liur pada anjing tersebut. Peristiwa ini disebut: Reflek Bersyarat atau Conditioned Respons. Pavlov berpendapat, bahwa kelenjar- kelenjar yang lain pun dapat dilatih. Bectrev murid Pavlov menggunakan prinsip-prinsip tersebut dilakukan pada manusia, yang ternyata diketemukan banyak reflek bersyarat yang timbul tidak disadari manusia.
            Tingkah laku sebenarnya  tidak lain daripada rangkaian refleks berkondisi, yaitu refleks-refleks yang terjadi setelah adanya proses kondisioning (conditioning process) di mana refleks-refleks yang tadinya dihubungkan dengan rangsang- rangsang tak berkondisi lama- kelamaan dihubungkan dengan rangsang berkondisi. Classical conditioning merupakan sebuah bentuk pengkondisian di mana seorang individu merespon rangsangan yang biasanya tidak akan menghasilkan respons tersebut. Dalam konteks ini ada dua hal yang harus dipenuhi, yaitu rangsangan yang dikondisikan (conditioned stimulus) dan respons.
E.Teori Belajar Kognitive
          Pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas. Teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Secara umum, terdapat tiga macam teori belajar yang sudah dikenal, yakni: Teori belajar Behavioristik, Teori Belajar Kognitif dan teori Belajar Konstruktivistik.
           Pada pembahasan berikut, akan disampaikan pembahasan tentang Teori Belajar Kognitif. Prinsip-prinsip Teori Belajar Kognitif Teori belajar kognitif menjelaskan belajar dengan memfokuskan pada perubahan proses mental dan struktur yang terjadi sebagai hasil dari upaya untuk memahami dunia. teori belajar kognitif yang digunakan untuk menjelaskan tugas-tugas yang sederhana seperti mengingat nomor telepon dan kompleks seperti pemecahan masalah yang tidak jelas. Teori belajar kognitif didasarkan pada empat prinsip dasar:
1. Pembelajar aktif dalam upaya untuk memahami pengalaman.
2. Pemahaman bahwa pelajar mengembangkan tergantung pada apa yang telah mereka ketahui.
3. Belajar membangun pemahaman dari pada catatan.
 4. Belajar adalah perubahan dalam struktur mental seseorang.
 Apakah Siswa Aktif ?
       Teori belajar kognitif didasarkan pada keyakinan bahwa peserta didik aktif dalam upaya untuk memahami bagaimana dunia bekerja, kepercayaan ini konsisten dengan Piaget dan Vygotsky tentang pemandangan pengembangan pelajar. Pembelajar melakukan lebih dari sekedar menanggapi. Mereka mencari informasi yang membantu mereka dari jawaban pertanyaan, mereka memodifikasi pemahaman mereka berdasarkan pengetahuan baru, dan perubahan sikap mereka dalam menanggapi peningkatan pemahaman. teori belajar kognitif pandangan manusia sebagai "agen goal-directed yang aktif mencari informasi.
       Siswa Memahami tergantung pada apa yang dia tahu dalam usaha mereka untuk memahami bagaimana di dunia bekerja, peserta didik menafsirkan pengalaman baru berdasarkan apa yang mereka sudah tahu dan percaya. Sebagai contoh, sering anak-anak tetap percaya bahwa bumi ini datar bahkan setelah guru menjelaskan bahwa itu adalah sebuah bola. Beberapa anak kemudian menggambar permukaan datar seperti di dalam atau di atas bola. Mereka beralasan bahwa orang tidak dapat berjalan di atas bola, dan ide dari permukaan yang datar tadi anak-anak mengetahui dan memahami ide untuk membantu mereka menjelaskan bagaimana orang dapat berdiri atau berjalan di permukaan bumi. Contoh ini juga membantu kita melihat mengapa menjelaskan sering tidak efektif untuk mengubah pemahaman peserta didik Membangun Pembelajar Memahami dari Rekaman Pelajar tidak berperilaku seperti tape recorder, merekam dalam ingatan mereka dalam bentuk di mana itu disajikan segalanya, guru mengatakan kepada mereka atau apa yang mereka baca. Sebaliknya, mereka menggunakan apa yang telah mereka ketahui untuk membangun pemahaman tentang apa yang mereka dengar atau membaca yang masuk akal bagi mereka. Dalam upaya mereka untuk membuat informasi baru dimengerti, mereka secara dramatis dapat memodifikasi itu, begitu pula anak- anak yang membayangkan serabi pada bola. Kebanyakan peneliti sekarang menerima gagasan bahwa siswa membangun pemahaman mereka sendiri (greeno et al,1996).              
          Definisi Pembelajaran Dari perspektif kognitif, belajar adalah perubahan dalam struktur mantal seseorang yang atas kapasitas untuk menunjukkan perilaku yang berbeda. Perhatikan kalimat "menciptakan kapasitas. Dari perspektif kognitif, belajar dapat terjadi tanpa ada perubahan langsung dalam perilaku, bukti perubahan dalam struktur mental dapat terjadi dalam beberapa waktu kemudian. "struktur mental" bahwa perubahan termasuk skema, keyakinan, tujuan, harapan dan komponen lainnya.
F.Teori Belajar Sosial Learning
        Teori Belajar Sosial (Social Learning pendekatan teori belajar terhadap kepribadian, teori belajar sosial berpangkal pada dalili bahwa tingkah laku manusia sebagian besar adalah hasil pemerolehan, dan bahwa prinsip- prinsip belajar adalah cukup untuk menjelaskan bagaimana tingkah laku berkembang dan menetap. Akan tetapi, teori-teori sebelumnya selain kurang memberi perhatian pada konteks sosial dimana tingkah laku ini muncul, juga kurang menyadari fakta bahwa banyak peristiwa belajar yang penting terjadi dengan perantaraan orang lain.
         Dalam bukunya terbutan 1941, Social larning and imitation, Miller dan Dollard telah mengakui peranan penting proses- proses imitatif dalam perkembangan kepribadian dan telah berusaha menjelaskan beberapa jenis tingkah laku imitatif tertentu. Tetapi hanya sedikit pakar lain peneliti kepribadia mencoba memasukan gejala belajar lewat observasi ke dalam teori-teori belajar mereka, bahkan Miller dan Dollard pun jarang menyebut imitasi dalam tulisan-tulisan mereka yang kemudian. Bandura tidak hanya berusaha memperbaiki kelalaian tersebut, tetapi juga memperluas analisis terhadap belajar lewat observasi ini melampaui jenis-jenis situasi terbatas yang ditelaah oleh Miller dan Dollard.
 F.1. ESENSI TEORI
           Bagi Bandura, walaupun prinsip belajar sosial cukup menjelaskan dan meramalkan perubahan tingkah laku, prinsip itu harus memperhatikan dua fenomea penting yang diabaikan atau ditolak olrh paradigma behaviorisme.
 Pertama, Bandura berpendapat manusia dapat berfikir dan mengatur tingkah lakunya sendiri; sehingga mereka bukan semata-mata bidak yang menjadi objek pengaruh lingkungan. Sifat kausal bukan dimiliki sendirian oleh lingkungan, karena orang dan lingkungan saling mempengaruhi.
 Kedua, bandura menyatakan, banyak aspek fungsi kepribadian melibatkan interaksi satu orang dengan orang lain. Dampaknya, teori kepribadian yang memadai harus memperhitungkan konteks sosial di mana tingkah laku itu diperoleh dan dipelihara. Teori Belajar Sosial (Social Learing Theory) dari Bandura didasarkan pada tiga konsep :
1. Determinis Resiprokal (reciprocal determinism): pendekatan yang menjelaskan tingkah laku manusia dalam bentuk interaksi timbal-balik yang terus menerus antara determinan kognitif, behavioral dan lingkungan. Orang menentukan/mempengaruhi tingkahlakunya dengan mengontrl lingkungan, tetapi orang itu juga dikontrol oleh kekuatan lingkungan itu.
Determinis resiprokal adalah konsep yang penting dalam teori belajar sosial Bandura, menjadi pijakan Bandura dalam memahami tingkah laku. Teori belajar sosial memakai saling- determinis sebagai prinsip dasar untuk menganalisis fenomena psiko-sosial di berbagai tingkat kompleksitas, dari perkembangan intrapersonal sampai tingkah laku interpersonal serta fungsi interaktif dari organisasi dan sistem sosial.
2. Tanpa Renforsemen (beyond reinforcement), Bandura memandang teori Skinner dan Hull terlalu bergantung pada renforsemen. Jika setiap unit respon sosial yang kompleks harus dipilah-pilah untuk direforse satu persatu, bisa jadi orang malah tidak belajar apapun. Menurutnya, reforsemen penting dalam menentukan apakah suatu tingkah laku akan terus terjadi atau tidak, tetapi itu bukan satu- satunya pembentuk tingkah laku. Orang dapat belajar melakukan sesuatu hanya dengan mengamati dan kemudian mengulang apa yang dilihatnya. Belajar melalui observasi tanpa ada renforsemen yang terlibat, berarti tingkah laku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi, itu merupakan pokok teori belajar sosial.
3. Kognisi dan Regulasi diri (Self- regulation/cognition): Teori belajar tradisional sering terhalang oleh ketidaksenangan atau ketidak mampuan mereka untuk menjelaskan proses kognitif. Konsep bandura menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat mengatur diri sendiri (self regulation), mempengaruhi tingkah laku dengan cara mengatur lingkungan, menciptakan dukungan kognitif, mengadakan konsekuensi bagi bagi tingkahlakunya sendiri. Hubungan antara tingkah laku (T) – Pribadi (P) – Lingkungan (L) menurut Pavlop, Skinner; Lewin dan Bandura.
         Bandura melukiskan : Teori Belajar Sosial berusaha menjelaskan tingkahlaku manusia dari segi interaksi timbal-balik yang berkesinambungan antara faktor kognitif, tingkahlaku, dan faktor lingkungan. Dalam proses determinisme timbal-balik itulah terletak kesempatan bagi manusia untuk mempengaruhi nasibnya maupun batas-batas kemampuannya untuk memimpin diri sendiri (self-direction). Konsepsi tentang cara manusia berfungsi semacam ini tidak menempatkan orang semata-mata sebagai objek tak berdaya yang dikontrol oleh pengaruh-pengaruh lingkungan ataupun sebagai pelaku-pelaku bebas yang dapat menjadi apa yang dipilihnya. Manusia dan lingkungannya merupakan faktor- faktor yang saling menentukan secara timbal balik (Bandura, 1977) Teori Belajar Sosial dari bandura yang paling luas diteliti adalah Efikasi Diri dan Penelitian Observasi (Penelitian Modeling). a. Efikasi Diri Dua pengertian penting :
1. Efikasi diri atau efikasi ekspektasi (self effication – efficacy expectation) adalah “Persepsi diri sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu.“ Efikasi diri berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan.
2. Ekspektasi hasil (outcome expectation): perkiraan atau estimasi diri bahwa tingkah laku yang dilakukan diri itu akan mencapai hasil tertentu. Efikasi adalah penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik atau buruk, tepat atau salah, bias atau tidak bias mengerjakan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Efikasi ini berbeda dengan aspirasi (cita-cita), karena cita-cita menggambarkan sesuatu yang ideal yang seharusnya (dapat dicapai), sedang efikasi menggambarkan penilaian kemampuan diri. Seorang dokter ahli bedah, pasti mempunyai ekspektasi efikasi yang tinggi, bahwa dirinya mampu melaksanakan operasi tumor sesuai dengan standar professional. Namun ekspektasi hasilnya bias rendah, karena hasil operasi itu sangat tergantung kepada daya tahan jantung pasien, kemurnia obat abtibiotik, sterilisasi dan infeksi, dan sebagainya. Sumber Efikasi Diri Perubahan tingkah laku, dalam system bandura kuncinya adalah perubahan ekspektasi efikasi (efikasi diri).
Efikasi diri atau keyakinan kebiasaan diri itu dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan atau diturunkan, melalui salah satu atau kombinasi empat sumber yakni :
1. Pengalaman menguasai sesuatu prestasi (performance accomplishment),
2. Pengalaman Vikarius (vicarious experience),
3. Persuasi Sosial (Social Persuation) dan
4. Pembangkitan Emosi (Emotional/ Psysilogical states). Strategi Pengubahan Sumber Ekspektasi Efikasi Sumber Cara Induksi Pengalaman Performasi Participant Modelling Meniru model yang berprestasi Performance desensilization Menghilangkan pengaruh buruk prestasi masa lalu Performance Exposure Menonjolkan keberhasilan yang pernah diraih Self-instructed performance Melatih diri untuk melakukan yang terbaik Pengalaman Vikarius Live Modelling Mengamati Model yang nyata Symbolic Modelling Mengamati model simbolik, film, komik, cerita Persuasi Verbal Sugestion Mempengaruhi dengan kata-kata berdasar kepercayaan Exhortation Nasihat, peringatan yang mendesak/memaksa Self-instruction Memerintah diri sendiri Intrepretive Treatment Interpretasi baru memperbaiki interpretasi lama yang salah Pembangkitan Emosi Attribution Mengubah atribusi, penanggungjawab suatu kejadian emosional Relaxation biofeedback Relaksasi Symbolic desensilization Menghilangkan sikap emosional dengan modeling simbolik Symbolic Exposure Memunculkan emosi secara simbolik Efikasi yang tinggi atau rendah, dikombinasikan dengan lingkungan yang responseif atau tidak responsif, akan menghasilkan empat kemungkinan prediksi tingkah laku. Kombinasi Efikasi dengan Lingkungan sebagai Prediktor Tingkah laku Efikasi Lingkungan Prediksi hasil tingkah laku Tinggi Responsif Suskses, melaksanakan tugas yang sesuai dengan kemampuannya Rendah Tidak Responsif Depresi, melihat orang lain sukses pada tugas yang dianggapnya sulit Tinggi Tidak Responsif Berusaha keras mengubah lingkungan menjadi responsif, melakukan protes, aktivitas sosial, bahkan memaksakan perubahan Rendah Responsif Orang menjadi apatis, pasrah, merasa tidak mampu b. Belajar Melalui Observasi Menurut Bandura, kebanyakan belajar terjadi tanpa renforsemen yang nyata. Dalam penelitiannya, ternyata orang dapat mempelajari respon baru dengan melihat respon orang lain, bahkan belajar tetap terjadi tanpa ikut melakukan hal yang dipelajari itu, dan model yang diamatinya juga tidak mendapat renforsemen dari tingkahlakunya. Belajar melalui observasi jauh lebih efisien dibanding belajar melalui pengalaman langsung. Melalui observasi orang dapat memperoleh respon yang tidak terhinggai banyaknya, yang mungkin diikuti dengan hubungan dan penguatan. - Peniruan (modelling) Inti dari belajar melalui observasi adalah modelling. Peniruan atau meniru sesungguhnya tidak tepat untuk mengganti kata modeling, karena modeling bukan sekedar menirukan atau mengulangi apa yang dilakukan orang model (oranglain), tetapi modeling melibatkan penambahan dan atau pengurangan tingkahlaku yang teramati, menggenaralisir berbagai pengamatan sekaligus, melibatkan proses kognitif. - Modeling tingkah laku baru : Melalui modeling orang dapat memperoleh tingkahlaku baru. Ini dimungkinkan karena adanya kemampuan kognitif Stimuli berbentuk tingkahlaku model ditransformasikan menjadi gambaran mental, dan yang lebih penting lagi ditransformasikan menjadi simbol verbal yang dapat diingat kembali suatu saat nanti.
- Modeling Mengubah Tingkah laku lama : Dua dampat modeling terhadap tingkah laku lama : pertama, tingkah laku model yang diterima secara sosial dapat memperkuat respon yang sudah dimiliki pengamat. Kedua, tingkah laku model yang tidak diterima secara sosial dapat memperkuat atau memperlemah pengamat untuk melakukan tingkah laku yang tidak diterima secara sosial, tergantung apakah tingkahlaku model itu diganjar atau dihukum.
- Modeling Simbolik: Dewasa ini sebagian besar tingkahlaku berbentuk simbolik. Film dan televisi menyajikan contoh tingkahlaku yang tidak terhitung yang mungkin mempengaruhi pengamatnya. Sajian itu berpotensi sebagai sumber model tingkah laku.
- Modeling Kondisioning: Modeling dapat digabung dengan kondisioning klasik menjadi kondisioning klasik vikarius (vicarious classical conditioning). Modelilng semacam ini banyak dipakai untuk mempelajari respon emosional. Faktor-faktor Penting dalam Belajar Melalui Observasi.
1. Perhatian (attention process)
2. Representasi (representasi process)
3. Peniruan tingkah laku model (behavior production process)
 4. Motivasi dan Penguatan (motivation and reinforcemen process)
F.2. APLIKASI TEORI
Bandura mengusulkan tiga macam pendekatan tritmen, yakni :
1. Latihan Penguasaan (desensitisasi modeling): mengajari klien menguasai tingkahlaku yang sebelumnya tidak bisa dilakukan (misalnya karena takut). Tritmen konseling dimulai dengan membantu klien mencapai relaksasi yang mendalam. Kemudian konselor meminta klien membayangkan hal yang menakutkannya secara bertahap. Misalnya, ular, dibayangkan melihat ular mainan di etalase toko. Kalau klien dapat membayangkan kejadian itu tanpa rasa takut, mereka diminta membayangkan bermain-main dengan ular mainan, kemudian melihat ular dikandang kebun binatang, kemudian menyentuh ular, sampai akhirnya menggendong ular. Ini adalah model desensitisasi sistemik yang pada paradigma behaviorrisme dilakukan dengan memanfaatkan variasi penguatan. Bandura memakai desesitisasi sistematik itu dalam fikiran (karena itu teknik ini terkadang disebut; modeling kognitif) tanpa memakai penguatan yang nyata.
2. Modeling terbuka (modeling partisipan): Klien melihat model nyata, biasanya diikuti dengan klien berpartisipasi dalam kegiatan model, dibantu oleh modelnya meniru tingkahlaku yang dikehendaki, sampai akhirnya mampu melakukan sendiri tanpa bantuan.
3. Modeling Simbolik; Klien melihat model dalam film, atau gambar/cerita. Kepuasan vikarious (melihat model mendapat penguatan) mendorong klien untuk mencoba/meniru tingkahlaku modelnya.















BABA III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
                    Hiperaktif adalah anak yang mengalami gangguan pemusatan perhatian dengan hiperaktivitas (GPPH) atau attention deficit and hyperactivity disorder (ADHD). Kondisi ini juga disebut sebagai gangguan hiperkinetik. Dahulu kondisi ini sering disebut minimal brain dysfunction syndrome. Gangguan hiperkinetik adalah gangguan pada anak yang timbul pada masa perkembangan dini (sebelum berusia tujuh tahun) dengan ciri utama tidak mampu memusatkan perhatian, hiperaktif dan impulsif. Ciri perilaku ini mewarnai berbagai situasi dan dapat berlanjut hingga dewasa. Akibat dari tidak mampu memusatkan perhatian, hiperaktif dan impulsif anak hiperaktif menjadi memiliki masalah dalam belajar.
Alternatif  Pandangan teori belajar  yang berhubungan untuk menangani anak hiperaktif, Teori  Conditioning, Teori Kognitive, Terori Sosial Learning.
·        Teori  Conditioning berpandangan bahwa untuk menangani anak hiperaktif

A.     Saran
Dengan mengetahui macam-macam teori belajar dan pandangan terhadap tingkahlaku manusia diharapkan agar guru dan siswa dapat menerapkan teori tersebut sesuai dengan kemampuan, situasi dan kondisi lingkungan belajar, sehingga tercipta kenyamanan dan keberhasilan dalam proses belajar dan pembelajaran


DAFTAR PUSTAKA
Dalyono. M, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta.
Djaelani. B.M, Psikologi Pendidikan, Sukamaju Depok: Cv Arya Duta.
Asri. B. C, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta.
tutorialpendidikankewarganegaraan.blogspot.com/2011/09/tutorial-pendidikan-ppkn.html?m=1
www.gurusukses.com/belajar-teori-dan-implementasinya-dalam-pembelajaran-1
koffieenco.blogspot.com/2013/07/teori-belajar-kognitif.html?m=1
septianindi.blogspot.com/2013/05/cara-mengatasi-anak-hiperaktif.html?m=1
romiariyanto.blogspot.com/2011/01/modul-penerapan-teknik-modifikasi.html?m=1
solehamini.blogspot.com/2010/06/teori-belajar-sosial-social-learning.html?m=1
blogmarlis.blogspot.com/2013/06/teori-belajar-kognitif.html?m=1
magister-pendidikan.blogspot.com/p/teori-kognitif.html?m=1
id.m.wikipedia.org/wiki/Teori_Kognitif_Sosial
elmisbah.wordpress.com/teori-pavlov/

No comments:

Post a Comment