BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mendidik
anak untuk bisa pintar mungkin bisa dilakukan oleh siapa saja. Tetapi mendidik
anak untuk mempunyai emosi yang stabil, tidak semua orang bisa melakukannya.
Dibutuhkan orang tua dan guru yang sabar, serius, ulet, serta mempunyai
semangat dedikasi tinggi dalam memahami dinamika kepribadian anak. Perilaku
siswa usia sekolah saat ini banyak dikeluhkan guru.
Para
guru mengeluh sikap anak- anak yang sangat sulit di atur (hiperaktif) emosinya
di kelas. Terhadap kondisi siswa yang demikian, biasanya para guru sangat susah
mengatur dan mendidiknya. Di samping karena keadaan dirinya yang sangat sulit
untuk tenang, juga karena anak hiperaktif sering mengganggu orang lain, suka
memotong pembicaran guru atau teman, dan mengalami kesulitan dalam memahami
sesuatu yang diajarkan guru kepadanya.
Selain
itu juga, prestasi belajar anak hiperaktif juga tidak bisa maksimal. Untuk itulah
dibutuhkan suatu pendekatan untuk membantu anak-anak yang hiperaktif tersebut
supaya mereka dapat memaksimalkan potensi diri dan meningkatkan prestasinya.
Pendekatan ini yaitu dengan adanya bimbingan konseling berupa layanan atau
treatment yang sesuai dengan kebutuhannya. Sehingga dengan demikian, diharapkan
setiap anak akan memperoleh haknya untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik
tanpa terkecuali, karena pengajaran yang diberikan telah disesuaikan dengan
kemampuan dan kesulitan yang dimilikinya.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
hal-hal yang tertulis di atas dalam latar belakang, maka dalam hal ini akan
merumuskan permasalahan dalam beberapa pertayaan:
1.
Bagaimanakah
anak hiperaktif dan masalah yang dialami anak hiperaktif ?
2.
Bagaimana
Pandangan Teori Conditioning untuk
menangani anak hiperaktif ?
3.
Bagaimana
Pandangan Teori Kognitive untuk menangani
Anak hiperaktif ?
4.
Bagaimana
Pandangan Terori Sosial Learning untuk menangani anak huperaktif ?
C.Tujuan
Masalah
Denagn bedasarkan
kepada poin-poin pertayaan tersebut di atas maka tujuan dalam penulisan makalah
ini yaitu:
1.
Mengetahui dan
memahami yang dimaksud anak hiperaktif danapa saja masalah yang di alami anak
hiperaktif.
2.
Mengetahui dan
memahami pandangan teori Conditioning dalam menangani anak hiperaktif.
3.
Mengetahui dan
memahami pandangan Teori Kognitive dalam menangani anak hiperaktif.
4.
Mengetahui dan
memahami pandangan teori Learning untuk menangani anak huperaktif.
C.
Sistematika
Penulisan
Sistematika
penilisan yang diharapkan untuk menyajikan gambarab singkat mengenai
permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini, sehingga akan memperoleh
gambaran yang jelas tentang isi dari penulisan ini terdiri dari tiga bab
diantaranya :
BAB I PENDAHULAUN
Berisi latar belakang,
rumusan masalah, tujuan, dan sistematika penulisan
BAB II
Berisi Pengertian anak
hiperatif dan masalah yang dialami anak hiperaktif
Berisi pandangan teori
Conditioning dalam menangani anak hiperaktif
Berisi pandangan teori
Kognitive dalam menangani anak hiperaktif
Berisi pandangan teori
Learning untuk menangani anak huperaktif
BAB III PENUTUP
Berisi kesimpulan
BABA
II
ISI
A.Pengertian
anak hiperatif dan Masalah yang Dialami Anak Hiperaktif
hiperaktif adalah anak yang mengalami gangguan pemusatan
perhatian dengan hiperaktivitas (GPPH) atau attention deficit and hyperactivity
disorder (ADHD). Kondisi ini juga disebut sebagai gangguan hiperkinetik. Dahulu
kondisi ini sering disebut minimal brain dysfunction syndrome. Gangguan
hiperkinetik adalah gangguan pada anak yang timbul pada masa perkembangan dini
(sebelum berusia tujuh tahun) dengan ciri utama tidak mampu memusatkan
perhatian, hiperaktif dan impulsif. Ciri perilaku ini mewarnai berbagai situasi
dan dapat berlanjut hingga dewasa. Dr. Seto Mulyadi dalam bukunya “Mengatasi
Problem Anak Sehari-hari“ mengatakan pengertian istilah
anak
hiperaktif adalah : Hiperaktif menunjukkan adanya suatu pola perilaku yang
menetap pada seorang anak. Perilaku ini ditandai dengan sikap tidak mau diam,
tidak bisa berkonsentrasi dan bertindak sekehendak hatinya atau impulsif. ADHD
adalah sebuah kondisi yang amat kompleks; gejalanya berbeda-beda.
Ditinjau
secara psikologis, hiperaktif adalah gangguan tingkah laku yang tidak normal
yang disebabkan disfungsi neurologia dengan gejala utama tidak mampu memusatkan
perhatian. Gangguan ini disebabkan kerusakan kecil pada system saraf pusat dan
otak sehingga rentang konsentrasi penderita menjadi sangat pendek dan sulit
dikendalikan. Penyebab lainnya dikarenakan temperamen bawaan, pengaruh
lingkungan, malfungsi otak, serta epilepsi. Atau bisa juga karena gangguan di
kepala seperti geger otak, trauma kepala karena persalinan sulit atau pernah
terbentur, infeksi, keracunan, gizi buruk, dan alergi makanan.
Para ahli mempunyai
perbedaan pendapat mengenai hal ini, akan tetapi mereka membagi ADHD ke dalam
tiga jenis yaitu :
1. Tipe anak yang tidak
bisa memusatkan perhatian.
Mereka sangat mudah
terganggu perhatiannya, tetapi tidak hiperaktif atau Impulsif. Mereka tidak
menunjukkan gejala hiperaktif. Tipe ini kebanyakan ada pada anak perempuan.
Mereka seringkali melamun dan dapat digambarkan seperti sedang berada “di
awang-awang”.
2. Tipe anak yang
hiperaktif dan impulsive.
Mereka menunjukkan
gejala yang sangat hiperaktif dan impulsif, tetapi bisa memusatkan perhatian. Tipe
ini seringkali ditemukan pada anak- anak kecil.
3.Tipe gabungan
Mereka sangat mudah terganggu perhatiannya,
hiperaktif dan impulsif. Kebanyakan anak anak termasuk tipe seperti ini. Jadi
yang dimaksud dengan hiperaktif adalah suatu pola perilaku pada seseorang yang
menunjukkan sikap tidak mau diam, tidak terkendali, tidak menaruh perhatian dan
impulsif (bertindak sekehendak hatinya).
B.
Teori Pembiasaan respons (Operant Conditioning)
B.1. Pengertian
Operant
Conditioning merupakan ilmu yang mempelajari perilaku berdasarkan eksperimen.
Operant Conditioning menunjukkan suatu proses modifikasi unit-unit perilaku
alih peristiwa-peristiwa yang mengikuti perubahan tersebut. Pendekatan ini
ditandai dengan analisis yang bersifat deterministik dan eksperimental suatu
perilaku. Selain itu juga ditandai oleh adanya konsentrasi (pemusatan) pada
suatu perilaku operant (respon). Walaupun demikian pendekatan ini tidak
mengabaikan perilaku yang bersifat intrinsik dan refleksif. Penggunaan
pendekatan ini hanya untuk perilaku yang dapat diamati, diukur dan direproduksi
kembali. Peranan lingkungan banyak menentukan dalam perubahan perilaku.
Pendekatan kondisioning aktif telah menunjukkan bagaimana perilaku dapat
dikontrol oleh lingkungan dan lingkungan dapat digambarkan secara obyektif dan
terperinci.
Berdasarkan
uraian tersebut maka ada dua hal pokok dalam pendekatan kondisioning aktif,
yaitu perilaku dan lingkungan. Perilaku dalam pengertian operant ini adalah
segala sesuatu yang dikerjakan oleh inidvidu. Hampir semua perilaku seperti
lari, bicara, berpikir, dan aktivitas lain yang dapat diamati. Lingkungan dalam
pengertian ini adalah formula yang menyangkut segala sesuatu yang mempunyai
efek terhadap individu, baik dengan segera atau tidak. Lingkungan melibatkan inidvidu
itu sendiri, karena penentu perilaku saat ini adalah mungkin perilaku
sebelumnya. Kejadian yang mengikuti hanya peristiwa lingkungan sebagai
konsekuensi peristiwa yang mengikutinya. Dalam kondisioning aktif ini
penekanannya diberikan kemungkinan (probabilitas) terjadinya suatu perilaku.
Pengertian probabilitas adalah frekuensi terjadinya perilaku di bawah kondisi
lingkungan tertentu.
Tujuan
utama kondisioning aktif adalah meramalkan dan memanipulasi terjadinya suatu
perilaku tertentu di bawah satu kondisi lingkungan tertentu. Sehingga salah
satu urutan terpenting pada pendekatan operant ini adalah tingkat terjadinya
perilaku di bawah kondisi tertentu. Di dalam kondisioning aktif, bahwa suatu
perilaku terjadi tersusun dari unit-unit yang disebut respon. Di samping itu
lingkungan tersusun juga dengan berbagai unit-unit. Konsep yang paling mendasar
pada pendekatan ini adalah semua perilaku tidak perlu dipaksakan dari individu
oleh lingkungan. Pendekatan kondisioning aktif lebih menekankan pada pemberian
sejumlah reinforced dan respon. Perilaku yang dapat dipengaruhi oleh pendekatan
ini seperti berbicara, tersenyum, bekerja, membaca, dan perilaku lainnya. Jenis
terapi dengan pendekatan kondisioning aktif ini juga dapat digunakan untuk
mengurangi perilaku mal-adjusted, agresif, hiperaktif dan perilaku yang lain.
B.2. Langkah-langkah
Penerapan Teknik Kondisioning Aktif
Suharmini
(2005) menjelaskan langkah-langkah penanganan anak hiperaktif dengan
menggunakan pendekatan operant conditioning, yaitu :
a. Pahami perilaku hiperaktif. Perilaku
yang sering dilakukan seperti :
1)
Tidak mampu berkonsentrasi.
2)
Kurang control dalam berperilaku dan berbicara.
3)
Aktivitas sangat tinggi tanpa tujuan.
4)
Agresif, seperti memukul dan mengganggu teman.
5)
Tidak mau mengerjakan tugas- tugas dari guru.
6)
Tidak mau mengikuti aturan yang dibuat sekolah.
b. Tentukan perilaku, aktivitas atau
keterampilan yang akan diubah, misalnya:
1)
Tidak mau duduk.
2)
Tidak mau mendengarkana ketika guru berbicara.
3)
Keluar masuk kelas, dan sebagainya.
c. Membagi perilaku
yang akan diubah dalam unit-unit kecil. d. Tentukan reinforcement.
e. Ubahlah atau ajarkan
perilaku per bagian secara sistematik, terstruktur dan dapat dinilai.
f. Berikan bimbingan
(bantuan + reinforcement), sedikit demi sedikit bantuan tersebut ditiadakan.
Pada anak hiperaktif perlu sikap tegas dan disiplin dari guru. Pemberian
reinforcement bisa negatif dan positif tergantung kondisi anak. Reinforcement
positif misalnya : memberi kasih sayang, acungan jempol, memangku, memberi
sesuatu yang disukai anak tetapi tidak membawa dampak negatif pada anak.
Reinforcement negatif misalanya : menarik tangan, menginjak kaki (tanpa
menimbulkan sakit) setiap anak akan pergi dari tempat duduk, melarang dengan
tegas apabila anak melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki dan sebagainya.
Reinforcement pada anak hiperaktif sangat subyektif, masing- masing anak tidak
sama. Pada anak hiperaktif rangsangan taktil yang berpa sentuhan sangat berarti
dan berpengaruh terhadap perilaku anak.
g. Terus menerus
dilakukan sampai aktivitas yang dikehendaki terwujud.
Apabila aktivitas dikehendaki terwujud, maka
hentikan reinforcement. Apabila setelah dihentikan perilakunya mengarah kembali
ke perilaku semula berikan lagi reinforcement, sampai perilaku yang dikehendaki
benar-benar menjadi kuat.
C.
Kondisioning Melalui Penolakan
C.1. Pengertian
Kondisioning
melalui penolakan ini dapat dilakukan melalui latihan asertif atau latihan
keterampilan sosial. Perilaku asertif adalah perilaku antar personal yang
melibatkan aspek kejujuran dan keterbukaan pikiran dan perasaan. Perilaku
asertif dilakukan dengan mempertimbangkan perasaan dan kesejahteraan orang
lain.
Singgih D. Gunarso (1992) menyatakan perilaku
asertif digolongkan pada tiga kategori, yaitu :
1.Asertif penolakan
Dapat dilakukan dengan halus seperti maaf.
Pada anak hiperaktif guru dapat melakukan dengan ucapan tegas, seperti jangan,
tidak boleh. Pada anak itu sendiri dapat dilatihkan dengan mengatakan “maaf
saya tidak mau”, dan seterusnya.
2. Asertif pujian
Ditandai
oleh kemampuan untuk mengekspresikan perasaan setuju, cocok, senang, mencintai,
mengagumi, memuji dan bersyukur.
3.Asertif permintaan
Merupakan
latihan meminta orang lain melakukan sesuatu untuk mencapai suatu tujuan tanpa
tekanan atau paksaan. Latihan asertif ini cocok untuk menangani masalah
perilaku hiperaktif dan perilaku agresif yang sering ada pada anak hiperaktif
Robert (1975) menyatakan salah satu cara untuk mengurangi perilaku hiperaktif
adalah dengan latihan asertif. Corey (1991) menyatakan latihan asertif dapat
dilakukan pada anak-anak yang :
a. Mengalami kesulitan
untuk mengatakan “tidak”.
b. Tidak dapat
mengekspresikan perasaan marah atau tersinggung.
c. Kesulitan
mengekspresikan perasaan dan respon-respon yang positif.
d. Terlalu sopan.
e. Merasa tidak dapat
mengekspresikan perasaan dan pikiran.
Guru,
orangtua dan terapis dalam pendekatan ini harus bersikap tegas juga jika harus
mengatakan tidak maka katakan tidak. Dalam pendekatan ini anak diajak untuk
berpikir bagaimana mengndalikan diri. Strategi perilaku yang dapat digunakan
dengan mengatakan secara verbal tentang aturan atau keharusan yang dapat
dilakukan. Seperti “saya harus bekerja selama 5 menit”. Dalam waktu 1 menit
harus sudah selesai. Pada pendekatan ini anak hiperaktif diminta untuk
menggambar garis-garis atau lingkaran-lingkaran kecil.
C.2. Langkah Penerapan
Teknik
Kondisioning
Melalui Penolakan D’Allonzo (1996) mengemukakan pelaksanaan penggunakan teknik
kondisioning melalui penolakan sebagai berikut :
a. Beri bantuan anak
dan sejumlah
reinforcement untuk
mengarah ke perilaku atau berperilaku sesuai dengan tugas yang diberikan.
b. Sebelum anak masuk
ke dalam suatu kelompok bersama-sama teman lainnya, maka diskusikan telebih
dahulu dengan anak tentang identifikasi perilaku-perilaku yang dapat dilakukan.
c. Sikap tegas,
perhatian yang khusus dan kualitas potensi kepemimpinan guru ditunjukkan baik
pada anak hiperaktif serta anak-anak lain yang ada di dalamnya. Beri
reinforcement, dengan cara ini dapat menghilangkan perilaku-perilaku negatif.
D.
Classic conditioning ( pengkondisian atau persyaratan klasik)
Adalah
proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dimana
perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara
berulang- ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan. Eksperimen-
eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya sangat terpengaruh
pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari
perilakunya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bakker bahwa yang paling sentral
dalam hidup manusia bukan hanya pikiran, peranan maupun bicara, melainkan
tingkah lakunya. Pikiran mengenai tugas atau rencana baru akan mendapatkan arti
yang benar jika ia berbuat sesuatu.
Bertitik tolak dari asumsinya bahwa
dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat
berubah sesuai dengan apa yang di inginkan.
Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen dengan menggunakan binatang
(anjing) karena ia menganggap binatang memiliki kesamaan dengan manusia. Namun
demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki manusia berbeda dengan
binatang. Ia mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi leher pada
seekor anjing. Sehingga kelihatan kelenjar air liurnya dari luar. Apabila
diperlihatkan sesuatu makanan, maka akan keluarlah air liur anjing tersebut.
Kini sebelum makanan diperlihatkan, maka yang diperlihatkan adalah sinar merah
terlebih dahulu, baru makanan. Dengan sendirinya air liurpun akan keluar pula.
Apabila perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu
ketika dengan hanya memperlihatkan sinar merah saja tanpa makanan maka air
liurpun akan keluar.
Makanan adalah rangsangan wajar,
sedang merah adalah rangsangan buatan. Ternyata kalau perbuatan yang demikian
dilakukan berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan menimbulkan syarat(kondisi)
untuk timbulnya air liur pada anjing tersebut. Peristiwa ini disebut: Reflek
Bersyarat atau Conditioned Respons. Pavlov berpendapat, bahwa kelenjar-
kelenjar yang lain pun dapat dilatih. Bectrev murid Pavlov menggunakan
prinsip-prinsip tersebut dilakukan pada manusia, yang ternyata diketemukan
banyak reflek bersyarat yang timbul tidak disadari manusia.
Tingkah laku sebenarnya tidak lain daripada rangkaian refleks
berkondisi, yaitu refleks-refleks yang terjadi setelah adanya proses
kondisioning (conditioning process) di mana refleks-refleks yang tadinya
dihubungkan dengan rangsang- rangsang tak berkondisi lama- kelamaan dihubungkan
dengan rangsang berkondisi. Classical conditioning merupakan sebuah bentuk
pengkondisian di mana seorang individu merespon rangsangan yang biasanya tidak
akan menghasilkan respons tersebut. Dalam konteks ini ada dua hal yang harus
dipenuhi, yaitu rangsangan yang dikondisikan (conditioned stimulus) dan
respons.
E.Teori Belajar Kognitive
Pada dasarnya belajar adalah suatu
proses usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia
sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk
memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku,
ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas. Teori belajar
kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi
dalam akal pikiran manusia. Secara umum, terdapat tiga macam teori belajar yang
sudah dikenal, yakni: Teori belajar Behavioristik, Teori Belajar Kognitif dan
teori Belajar Konstruktivistik.
Pada pembahasan berikut, akan disampaikan
pembahasan tentang Teori Belajar Kognitif. Prinsip-prinsip Teori Belajar
Kognitif Teori belajar kognitif menjelaskan belajar dengan memfokuskan pada
perubahan proses mental dan struktur yang terjadi sebagai hasil dari upaya
untuk memahami dunia. teori belajar kognitif yang digunakan untuk menjelaskan
tugas-tugas yang sederhana seperti mengingat nomor telepon dan kompleks seperti
pemecahan masalah yang tidak jelas. Teori belajar kognitif didasarkan pada
empat prinsip dasar:
1.
Pembelajar aktif dalam upaya untuk memahami pengalaman.
2.
Pemahaman bahwa pelajar mengembangkan tergantung pada apa yang telah mereka
ketahui.
3.
Belajar membangun pemahaman dari pada catatan.
4. Belajar adalah perubahan dalam struktur
mental seseorang.
Apakah Siswa Aktif ?
Teori belajar kognitif didasarkan pada
keyakinan bahwa peserta didik aktif dalam upaya untuk memahami bagaimana dunia
bekerja, kepercayaan ini konsisten dengan Piaget dan Vygotsky tentang
pemandangan pengembangan pelajar. Pembelajar melakukan lebih dari sekedar
menanggapi. Mereka mencari informasi yang membantu mereka dari jawaban
pertanyaan, mereka memodifikasi pemahaman mereka berdasarkan pengetahuan baru,
dan perubahan sikap mereka dalam menanggapi peningkatan pemahaman. teori
belajar kognitif pandangan manusia sebagai "agen goal-directed yang aktif
mencari informasi.
Siswa Memahami tergantung pada apa yang
dia tahu dalam usaha mereka untuk memahami bagaimana di dunia bekerja, peserta
didik menafsirkan pengalaman baru berdasarkan apa yang mereka sudah tahu dan
percaya. Sebagai contoh, sering anak-anak tetap percaya bahwa bumi ini datar
bahkan setelah guru menjelaskan bahwa itu adalah sebuah bola. Beberapa anak
kemudian menggambar permukaan datar seperti di dalam atau di atas bola. Mereka
beralasan bahwa orang tidak dapat berjalan di atas bola, dan ide dari permukaan
yang datar tadi anak-anak mengetahui dan memahami ide untuk membantu mereka
menjelaskan bagaimana orang dapat berdiri atau berjalan di permukaan bumi.
Contoh ini juga membantu kita melihat mengapa menjelaskan sering tidak efektif
untuk mengubah pemahaman peserta didik Membangun Pembelajar Memahami dari
Rekaman Pelajar tidak berperilaku seperti tape recorder, merekam dalam ingatan
mereka dalam bentuk di mana itu disajikan segalanya, guru mengatakan kepada
mereka atau apa yang mereka baca. Sebaliknya, mereka menggunakan apa yang telah
mereka ketahui untuk membangun pemahaman tentang apa yang mereka dengar atau
membaca yang masuk akal bagi mereka. Dalam upaya mereka untuk membuat informasi
baru dimengerti, mereka secara dramatis dapat memodifikasi itu, begitu pula
anak- anak yang membayangkan serabi pada bola. Kebanyakan peneliti sekarang
menerima gagasan bahwa siswa membangun pemahaman mereka sendiri (greeno et
al,1996).
Definisi Pembelajaran Dari perspektif
kognitif, belajar adalah perubahan dalam struktur mantal seseorang yang atas
kapasitas untuk menunjukkan perilaku yang berbeda. Perhatikan kalimat
"menciptakan kapasitas. Dari perspektif kognitif, belajar dapat terjadi
tanpa ada perubahan langsung dalam perilaku, bukti perubahan dalam struktur
mental dapat terjadi dalam beberapa waktu kemudian. "struktur mental"
bahwa perubahan termasuk skema, keyakinan, tujuan, harapan dan komponen lainnya.
F.Teori Belajar Sosial Learning
Teori Belajar Sosial (Social Learning pendekatan
teori belajar terhadap kepribadian, teori belajar sosial berpangkal pada dalili
bahwa tingkah laku manusia sebagian besar adalah hasil pemerolehan, dan bahwa
prinsip- prinsip belajar adalah cukup untuk menjelaskan bagaimana tingkah laku berkembang
dan menetap. Akan tetapi, teori-teori sebelumnya selain kurang memberi
perhatian pada konteks sosial dimana tingkah laku ini muncul, juga kurang
menyadari fakta bahwa banyak peristiwa belajar yang penting terjadi dengan perantaraan
orang lain.
Dalam bukunya terbutan 1941, Social
larning and imitation, Miller dan Dollard telah mengakui peranan penting
proses- proses imitatif dalam perkembangan kepribadian dan telah berusaha menjelaskan
beberapa jenis tingkah laku imitatif tertentu. Tetapi hanya sedikit pakar lain
peneliti kepribadia mencoba memasukan gejala belajar lewat observasi ke dalam
teori-teori belajar mereka, bahkan Miller dan Dollard pun jarang menyebut
imitasi dalam tulisan-tulisan mereka yang kemudian. Bandura tidak hanya berusaha
memperbaiki kelalaian tersebut, tetapi juga memperluas analisis terhadap
belajar lewat observasi ini melampaui jenis-jenis situasi terbatas yang
ditelaah oleh Miller dan Dollard.
F.1. ESENSI TEORI
Bagi Bandura, walaupun prinsip
belajar sosial cukup menjelaskan dan meramalkan perubahan tingkah laku, prinsip
itu harus memperhatikan dua fenomea penting yang diabaikan atau ditolak olrh
paradigma behaviorisme.
Pertama, Bandura berpendapat manusia dapat
berfikir dan mengatur tingkah lakunya sendiri; sehingga mereka bukan
semata-mata bidak yang menjadi objek pengaruh lingkungan. Sifat kausal bukan
dimiliki sendirian oleh lingkungan, karena orang dan lingkungan saling
mempengaruhi.
Kedua, bandura menyatakan, banyak aspek fungsi
kepribadian melibatkan interaksi satu orang dengan orang lain. Dampaknya, teori
kepribadian yang memadai harus memperhitungkan konteks sosial di mana tingkah
laku itu diperoleh dan dipelihara. Teori Belajar Sosial (Social Learing Theory)
dari Bandura didasarkan pada tiga konsep :
1.
Determinis Resiprokal (reciprocal determinism): pendekatan yang menjelaskan
tingkah laku manusia dalam bentuk interaksi timbal-balik yang terus menerus
antara determinan kognitif, behavioral dan lingkungan. Orang
menentukan/mempengaruhi tingkahlakunya dengan mengontrl lingkungan, tetapi
orang itu juga dikontrol oleh kekuatan lingkungan itu.
Determinis
resiprokal adalah konsep yang penting dalam teori belajar sosial Bandura,
menjadi pijakan Bandura dalam memahami tingkah laku. Teori belajar sosial
memakai saling- determinis sebagai prinsip dasar untuk menganalisis fenomena
psiko-sosial di berbagai tingkat kompleksitas, dari perkembangan intrapersonal
sampai tingkah laku interpersonal serta fungsi interaktif dari organisasi dan
sistem sosial.
2.
Tanpa Renforsemen (beyond reinforcement), Bandura memandang teori Skinner dan
Hull terlalu bergantung pada renforsemen. Jika setiap unit respon sosial yang
kompleks harus dipilah-pilah untuk direforse satu persatu, bisa jadi orang
malah tidak belajar apapun. Menurutnya, reforsemen penting dalam menentukan apakah
suatu tingkah laku akan terus terjadi atau tidak, tetapi itu bukan satu- satunya
pembentuk tingkah laku. Orang dapat belajar melakukan sesuatu hanya dengan
mengamati dan kemudian mengulang apa yang dilihatnya. Belajar melalui observasi
tanpa ada renforsemen yang terlibat, berarti tingkah laku ditentukan oleh
antisipasi konsekuensi, itu merupakan pokok teori belajar sosial.
3.
Kognisi dan Regulasi diri (Self- regulation/cognition): Teori belajar tradisional
sering terhalang oleh ketidaksenangan atau ketidak mampuan mereka untuk
menjelaskan proses kognitif. Konsep bandura menempatkan manusia sebagai pribadi
yang dapat mengatur diri sendiri (self regulation), mempengaruhi tingkah laku dengan
cara mengatur lingkungan, menciptakan dukungan kognitif, mengadakan konsekuensi
bagi bagi tingkahlakunya sendiri. Hubungan antara tingkah laku (T) – Pribadi
(P) – Lingkungan (L) menurut Pavlop, Skinner; Lewin dan Bandura.
Bandura melukiskan : Teori Belajar
Sosial berusaha menjelaskan tingkahlaku manusia dari segi interaksi
timbal-balik yang berkesinambungan antara faktor kognitif, tingkahlaku, dan
faktor lingkungan. Dalam proses determinisme timbal-balik itulah terletak
kesempatan bagi manusia untuk mempengaruhi nasibnya maupun batas-batas kemampuannya
untuk memimpin diri sendiri (self-direction). Konsepsi tentang cara manusia
berfungsi semacam ini tidak menempatkan orang semata-mata sebagai objek tak berdaya
yang dikontrol oleh pengaruh-pengaruh lingkungan ataupun sebagai pelaku-pelaku
bebas yang dapat menjadi apa yang dipilihnya. Manusia dan lingkungannya
merupakan faktor- faktor yang saling menentukan secara timbal balik (Bandura, 1977)
Teori Belajar Sosial dari bandura yang paling luas diteliti adalah Efikasi Diri
dan Penelitian Observasi (Penelitian Modeling). a. Efikasi Diri Dua pengertian
penting :
1.
Efikasi diri atau efikasi ekspektasi (self effication – efficacy expectation) adalah
“Persepsi diri sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi
tertentu.“ Efikasi diri berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki
kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan.
2.
Ekspektasi hasil (outcome expectation): perkiraan atau estimasi diri bahwa
tingkah laku yang dilakukan diri itu akan mencapai hasil tertentu. Efikasi
adalah penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik atau buruk,
tepat atau salah, bias atau tidak bias mengerjakan sesuai dengan yang dipersyaratkan.
Efikasi ini berbeda dengan aspirasi (cita-cita), karena cita-cita menggambarkan
sesuatu yang ideal yang seharusnya (dapat dicapai), sedang efikasi menggambarkan
penilaian kemampuan diri. Seorang dokter ahli bedah, pasti mempunyai ekspektasi
efikasi yang tinggi, bahwa dirinya mampu melaksanakan operasi tumor sesuai dengan
standar professional. Namun ekspektasi hasilnya bias rendah, karena hasil
operasi itu sangat tergantung kepada daya tahan jantung pasien, kemurnia obat
abtibiotik, sterilisasi dan infeksi, dan sebagainya. Sumber Efikasi Diri Perubahan
tingkah laku, dalam system bandura kuncinya adalah perubahan ekspektasi efikasi
(efikasi diri).
Efikasi
diri atau keyakinan kebiasaan diri itu dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan
atau diturunkan, melalui salah satu atau kombinasi empat sumber yakni :
1.
Pengalaman menguasai sesuatu prestasi (performance accomplishment),
2.
Pengalaman Vikarius (vicarious experience),
3.
Persuasi Sosial (Social Persuation) dan
4.
Pembangkitan Emosi (Emotional/ Psysilogical states). Strategi Pengubahan Sumber
Ekspektasi Efikasi Sumber Cara Induksi Pengalaman Performasi Participant Modelling
Meniru model yang berprestasi Performance desensilization Menghilangkan
pengaruh buruk prestasi masa lalu Performance Exposure Menonjolkan keberhasilan
yang pernah diraih Self-instructed performance Melatih diri untuk melakukan
yang terbaik Pengalaman Vikarius Live Modelling Mengamati Model yang nyata Symbolic
Modelling Mengamati model simbolik, film, komik, cerita Persuasi Verbal
Sugestion Mempengaruhi dengan kata-kata berdasar kepercayaan Exhortation
Nasihat, peringatan yang mendesak/memaksa Self-instruction Memerintah diri
sendiri Intrepretive Treatment Interpretasi baru memperbaiki interpretasi lama yang
salah Pembangkitan Emosi Attribution Mengubah atribusi, penanggungjawab suatu
kejadian emosional Relaxation biofeedback Relaksasi Symbolic desensilization Menghilangkan
sikap emosional dengan modeling simbolik Symbolic Exposure Memunculkan emosi secara
simbolik Efikasi yang tinggi atau rendah, dikombinasikan dengan lingkungan yang
responseif atau tidak responsif, akan menghasilkan empat kemungkinan prediksi
tingkah laku. Kombinasi Efikasi dengan Lingkungan sebagai Prediktor Tingkah
laku Efikasi Lingkungan Prediksi hasil tingkah laku Tinggi Responsif Suskses,
melaksanakan tugas yang sesuai dengan kemampuannya Rendah Tidak Responsif
Depresi, melihat orang lain sukses pada tugas yang dianggapnya sulit Tinggi
Tidak Responsif Berusaha keras mengubah lingkungan menjadi responsif, melakukan
protes, aktivitas sosial, bahkan memaksakan perubahan Rendah Responsif Orang
menjadi apatis, pasrah, merasa tidak mampu b. Belajar Melalui Observasi Menurut
Bandura, kebanyakan belajar terjadi tanpa renforsemen yang nyata. Dalam
penelitiannya, ternyata orang dapat mempelajari respon baru dengan melihat
respon orang lain, bahkan belajar tetap terjadi tanpa ikut melakukan hal yang
dipelajari itu, dan model yang diamatinya juga tidak mendapat renforsemen dari tingkahlakunya.
Belajar melalui observasi jauh lebih efisien dibanding belajar melalui
pengalaman langsung. Melalui observasi orang dapat memperoleh respon yang tidak
terhinggai banyaknya, yang mungkin diikuti dengan hubungan dan penguatan. -
Peniruan (modelling) Inti dari belajar melalui observasi adalah modelling. Peniruan
atau meniru sesungguhnya tidak tepat untuk mengganti kata modeling, karena
modeling bukan sekedar menirukan atau mengulangi apa yang dilakukan orang model
(oranglain), tetapi modeling melibatkan penambahan dan atau pengurangan tingkahlaku
yang teramati, menggenaralisir berbagai pengamatan sekaligus, melibatkan proses
kognitif. - Modeling tingkah laku baru : Melalui modeling orang dapat
memperoleh tingkahlaku baru. Ini dimungkinkan karena adanya kemampuan kognitif Stimuli
berbentuk tingkahlaku model ditransformasikan menjadi gambaran mental, dan yang
lebih penting lagi ditransformasikan menjadi simbol verbal yang dapat diingat
kembali suatu saat nanti.
-
Modeling Mengubah Tingkah laku lama : Dua dampat modeling terhadap tingkah laku
lama : pertama, tingkah laku model yang diterima secara sosial dapat memperkuat
respon yang sudah dimiliki pengamat. Kedua, tingkah laku model yang tidak
diterima secara sosial dapat memperkuat atau memperlemah pengamat untuk melakukan
tingkah laku yang tidak diterima secara sosial, tergantung apakah tingkahlaku
model itu diganjar atau dihukum.
-
Modeling Simbolik: Dewasa ini sebagian besar tingkahlaku berbentuk simbolik.
Film dan televisi menyajikan contoh tingkahlaku yang tidak terhitung yang
mungkin mempengaruhi pengamatnya. Sajian itu berpotensi sebagai sumber model
tingkah laku.
-
Modeling Kondisioning: Modeling dapat digabung dengan kondisioning klasik
menjadi kondisioning klasik vikarius (vicarious classical conditioning).
Modelilng semacam ini banyak dipakai untuk mempelajari respon emosional. Faktor-faktor
Penting dalam Belajar Melalui Observasi.
1.
Perhatian (attention process)
2.
Representasi (representasi process)
3.
Peniruan tingkah laku model (behavior production process)
4. Motivasi dan Penguatan (motivation and
reinforcemen process)
F.2. APLIKASI TEORI
Bandura
mengusulkan tiga macam pendekatan tritmen, yakni :
1.
Latihan Penguasaan (desensitisasi modeling): mengajari klien menguasai tingkahlaku
yang sebelumnya tidak bisa dilakukan (misalnya karena takut). Tritmen konseling
dimulai dengan membantu klien mencapai relaksasi yang mendalam. Kemudian
konselor meminta klien membayangkan hal yang menakutkannya secara bertahap.
Misalnya, ular, dibayangkan melihat ular mainan di etalase toko. Kalau klien dapat
membayangkan kejadian itu tanpa rasa takut, mereka diminta membayangkan
bermain-main dengan ular mainan, kemudian melihat ular dikandang kebun
binatang, kemudian menyentuh ular, sampai akhirnya menggendong ular. Ini adalah
model desensitisasi sistemik yang pada paradigma behaviorrisme dilakukan dengan
memanfaatkan variasi penguatan. Bandura memakai desesitisasi sistematik itu
dalam fikiran (karena itu teknik ini terkadang disebut; modeling kognitif)
tanpa memakai penguatan yang nyata.
2.
Modeling terbuka (modeling partisipan): Klien melihat model nyata, biasanya
diikuti dengan klien berpartisipasi dalam kegiatan model, dibantu oleh modelnya
meniru tingkahlaku yang dikehendaki, sampai akhirnya mampu melakukan sendiri
tanpa bantuan.
3.
Modeling Simbolik; Klien melihat model dalam film, atau gambar/cerita. Kepuasan
vikarious (melihat model mendapat penguatan) mendorong klien untuk
mencoba/meniru tingkahlaku modelnya.
BABA III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hiperaktif adalah anak yang
mengalami gangguan pemusatan perhatian dengan hiperaktivitas (GPPH) atau
attention deficit and hyperactivity disorder (ADHD). Kondisi ini juga disebut
sebagai gangguan hiperkinetik. Dahulu kondisi ini sering disebut minimal brain
dysfunction syndrome. Gangguan hiperkinetik adalah gangguan pada anak yang
timbul pada masa perkembangan dini (sebelum berusia tujuh tahun) dengan ciri
utama tidak mampu memusatkan perhatian, hiperaktif dan impulsif. Ciri perilaku
ini mewarnai berbagai situasi dan dapat berlanjut hingga dewasa. Akibat dari tidak
mampu memusatkan perhatian, hiperaktif dan impulsif anak hiperaktif menjadi
memiliki masalah dalam belajar.
Alternatif
Pandangan teori belajar yang berhubungan untuk menangani anak hiperaktif,
Teori Conditioning, Teori Kognitive,
Terori Sosial Learning.
·
Teori Conditioning berpandangan bahwa untuk
menangani anak hiperaktif
A.
Saran
Dengan mengetahui macam-macam teori
belajar dan pandangan terhadap tingkahlaku manusia diharapkan agar guru dan
siswa dapat menerapkan teori tersebut sesuai dengan kemampuan, situasi dan
kondisi lingkungan belajar, sehingga tercipta kenyamanan dan keberhasilan dalam
proses belajar dan pembelajaran
DAFTAR PUSTAKA
Dalyono. M, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rineka
Cipta.
Djaelani. B.M, Psikologi Pendidikan, Sukamaju Depok: Cv
Arya Duta.
Asri. B. C, Belajar dan
Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta.
tutorialpendidikankewarganegaraan.blogspot.com/2011/09/tutorial-pendidikan-ppkn.html?m=1
www.gurusukses.com/belajar-teori-dan-implementasinya-dalam-pembelajaran-1
koffieenco.blogspot.com/2013/07/teori-belajar-kognitif.html?m=1
septianindi.blogspot.com/2013/05/cara-mengatasi-anak-hiperaktif.html?m=1
romiariyanto.blogspot.com/2011/01/modul-penerapan-teknik-modifikasi.html?m=1
solehamini.blogspot.com/2010/06/teori-belajar-sosial-social-learning.html?m=1
blogmarlis.blogspot.com/2013/06/teori-belajar-kognitif.html?m=1
magister-pendidikan.blogspot.com/p/teori-kognitif.html?m=1
id.m.wikipedia.org/wiki/Teori_Kognitif_Sosial
elmisbah.wordpress.com/teori-pavlov/
No comments:
Post a Comment